Selasa, 10 Agustus 2010
Terkadang lisan khilaf terucap,,,, Tangan Silap Tergerak,, dan kaki salah melangkah....
Ramadhan nan berkah akan menyambut,,,
Sucikan hati dalam mengisinya,,,
Bila canda membuat tertawa, Hati bahagia wajah ceria
Maaf dipinta segala dosa, Sambut gembira puasa mulia
Selamat menunaikan ibadah Ramadhan,,, Mohon maaf lahir dan bathin,,
Senin, 09 Agustus 2010
Tidak dapat dipungkiri bahwanya pasca diberlakukannya UU tentang otonomi daerah dan kehidupan politik dengan penerapan pemilihan langsung untuk penetapan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap persepsi dan moril putra daerah terhadap tanah lahirnya. Jiwa bangga dengan mengedepankan watak dan modal semangat kedaerah merupakan modal utama untuk dapat berbuat dan memberikan sumbangsih moril terhadap daerah. Dan pertanyaan yang mendasar, apakah karakter putra daerah hari ini mencerminkan sikap yang menunjukkan loyalitas untuk kemajuan daerah hari ini atau hanya dapat melihat dan mengamati saja atas apa yang terjadi didaerahnya,,,???

Menyinggung pertanyaan tersebut mari kita menganalis bagaimana sebenarnya fungsi dan peranan putra daerah terhadap tanah lahirnya sekarang. Pendewasaan kehidupan berpolitik dimasyarakat saat ini merupakan hal yang patut kita apresiasikan oleh putra daerah. Dalam menganalisis peran moril tersebut, modal yang utama untuk kita jadikan adalah makna loyalitas dan jiwa intelektual yanng terkandung pada sosok tersebut. Tidak hanya sekedar ungkapan teoritis, tetapi kita lihat hari ini bagaimana sikap apatis kaum pemuda menunjukkan permasalahan yang harus kita benahi. Paradigma kritis dan transformatif merupakan acuan yang dapat kita jadikan orientasi untuk menamkan jiwa kritis terhadap kondisi daerah dan berfikir untuk mencari solusi dan kontribusi positif atas permasalahan yang ada.


Tidak mudah memang untuk dapat membuka perhatian putra daerah dalam menjawab problematika masyarakat yang terjadi. Tapi itu bukan semata-mata menjadi bumerang bagi kita hari ini. Berawal dari semangat primordialiatas yang dimiliki oleh setiap putra daerah yang ketika itu berada ditanah perantauan berjuang akan kesuksesan pendidikan ataupun pendalaman ilmu atau bisnis yang digelutinya adalah satu contoh sikap yang menunjukkan peran moril terhadap semangat kebersamaan atas sikap kedaerahan tersebut.


Bersilaturrahim, menjalin komunikasi dan bahkan membentuk sebuah wadah kedaerahan dikota perantauan adalah suatu langkah awal positif yang kita lakukan atas sikap kepedulian dan peran kita dalam perkembangan tanah lahir. Sedikit banyak dalam forum tersebutt akan muncul dan timbul sebuah pemikiran, ide, ataupun gagasan yang berguna melihat kondisi didaerah kita saat itu. Tidak hanya berorientasi pada kepentingan politik belaka, akan tetapi bentuk kreativitas, pendidikan, dan sikap sosial abdi masyarakat adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh daerah.


Maka apakah hal tersebut akan terbuang sia-sia, dan apakah tidak tertuak sedikitpun dalam pemikiran kita akan tanggung jawab moril kita terhadap daerah tanah lahir yang sebenarnya sangat membutuhkan ide-ide brilian yang efektif atas putra daerahnya. Disatu sisi bagaimana hal yang khas dengan kemenangan pandangan strategis yang dimiliki putra daeerah akan tanah lahirnya ataupun letak emosional pribadi kepada masyarakat, tak ayal putra daerah sering terlihat ikut dalam pemilihan pimpinan daerah hari ini, baik tingkatt eksekutif maupun legislatif.


Akan tetapi hal yang terpenting adalah tidak semata-mata tanggung jawab moril putra daerah hari ini dalam mengisi peran kota tanah lahir hanya dalam kontek kepentingan politik saja, akan tetapi bentuk kepedulian sosial masyarakat adalah hal terpentingan yang seharusnya kita lakukan. Awali dari hal yang terkecil kita lakukan untuk daerah dan bukan sebaliknya, tidak saatnya lagi kita hanya dapat bermain meraut sekucup kepentingan pribadi yang ada didaerah. Kontribusi dan solusi positif kita berikan, bukan hannya berteriak didepan tetapi menjilat dibelakang.


Dan saatnya buka pikiran kita dan lakukan apa dapat kita berikan maka majukanlah daerahmu seakan kamu menaman padi disawahmu yang apabila panen dinikmati oleh seluruh masyarakat didaerah. Lakukan yang terbaik dan jadikan hal ini sebagai peran strategis dalam membangun daerah.


Oleh: RIZKIE MAULANA



Mohon Komentarnya,,,:

PENDAHULUAN

Islam memandang pemuda sebagai penopang pilar utama transformasi sebuah bangsa. Lihatlah Rasulullah s.a.w. Pada usia 15-20 tahun beliau telah terlibat berbagai peristiwa militer dan memainkan peran diplomatik penyelesaian sengketa masyarakat Arab. Bahkan pada usia yang sangat dini (12 tahun), beliau melakukan perjalanan bisnis ke Syam (Syria). Ini pengalaman perjalananan internasional. Beliau bertemu dengan Pendeta Buhaira yang meramalkan kenabiannya, sesuai dengan apa yang tertera di Kitab Sucinya. Sinopsis kehidupan seperti ini telah membentuk konsep diri dan peran strategis beliau dalam narasi panjang sejarah peradaban Islam.

Al-Qur’an juga bercerita kepada kita tentang Ashab al-Kahfi yang tangguh.”Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita Ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambah pula untuk mereka petunjuk.

Al-Qur’anpun berkisah tentang pemuda Ibrahim a.s. yang bermental baja dalam membasmi berhala, tapi juga sosok yang sangat santun dalam berdialog dengan kaumnya. Beliau penjadi pilar utama perubahan kaumnya, bahkan menjadi sentral perhatian kaumnya,”Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala Ini yang bernama Ibrahim“. Demikian pula tentang sosok Nabiyaullah Ismail a.s. dan nabiyullah Yusuf a.s. Mereka adalah pemuda-pemuda tangguh dan tokoh transformasi umatnya.

Demikian pula dengan sejarah peran pemuda Indonesia dalam mentranformasikan perjuangan bangsa yakni dumulai dari Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Penggulingan Orde Lama hingga Reformasi 1998.

Dengan demikian sesungguhnya kita memiliki pijakan historis berdasarkan penuturan Al-Qur’an dan sejarah bangsa Indonesia hari ini terbuktikan, bukan sekedar apologi teologis yang romantis. Maka, kaum intelekua muda hari ini hendaklah dapat mentransformasikan setiap individu di antara kita untuk hadir di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kontribusi terbaik serta karakter mulia yang membebaskan kita dari segala kungkungan dan tirani sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan tirani intelektual itu sendiri.

Semua itu dapat dirumuskan pada atribut intelektual muda muslim berikut ini : Pertama, memahami dan berpegang teguh pada ajaran tauhid serta komitmen yang utuh kepada Allah s.w.t. (Islamic world-view, a-tashawwur al-Islamy). Kedua, menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah s.w.t. Dalam konteks masyarakat manusia, penolakannya itu berarti emansipasi dan restorasi kebebasan esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia, supaya komitmennya pada Allah menjadi utuh dan kukuh. Ketiga, ia bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat-istiadatnya, tradisi dan paham hidupnya. Bila dalam penilaiannya ternyata terdapat unsur-unsur syirik dalam arti luas, maka ia selalu bersedia untuk berubah dan mengubah hal-hal itu agar sesuai dengan pesan-pesan ilahi. Manusia-tauhid adalah progresif karena ia tidak pernah menolak setiap perubahan yang positif. Ia berinteraksi dengan berbagai produk budaya dan peradaban asing yang antagonis dengan Islam.Keempat, tujuan hidupnya amat jelas. Kelima, visi kehidupan yang jelas tentang kehidupan yang akan dibangun bersama manusia lainnya; hablun minallah dan hablun minannas (keseimbangan dimensi vertikal dan horisontal).Keenam, seorang intelektual muda muslim harus terlibat aktif dalam transformasi masyarakat, tidak menjadi tawanan menara gading yang jauh dari penderitaan umatnya.

MENUNGGU KONTRIBUSI PEMUDA SEBAGAI PENGGERAK BANGSA

TIDAK dapat disangkal, berdirinya Indonesia merupakan kontribusi dari kaum muda di negeri ini. Tokoh muda Soetomo, Wahidin Soedirohoesodo, Ki Hajar Dewantara melalui organisasi pemuda lintas suku yang bernama Boedi Utomo menjadi pionir pergerakan pemuda di negeri ini.

KEPIAWAIAN ketiga pemuda tersebut dalam menggerakkan kebangkitan nasional berhasil mewujudkan Indonesia yang merdeka. Kaum mudalah yang membangkitkan kesadaran masyarakat saat itu tentang pentingnya kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda di bumi pertiwi. Tidak berlebihan pula jika momentum kebangkitan nasional yang lahir 102 tahun lalu itu terus kita kenang setiap tahun, yakni 22 Mei sesuai dengan hari kelahiran organisasi tersebut.Peranan pemuda memang sangat penting dalam memajukan bangsa ini. Di setiap perjuangan bangsa ini, tanpa mengabaikan kelompok senior, kontribusi pemuda sangat signifikan bahkan spektakuler. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak gerakan di dunia ini dikomandoi oleh kaum muda. Sebut saja Ernesto Rafael Gue-vara de Ia Sema alias Che Gue-vara yang sampai saat ini sosoknya langgeng menjadi ikon di kalangan pemuda di banyak negara. Meskipun sebenarnya dia dapat memilih hidup dalam zona nyaman dengan gelar sarjana medis yang diraihnya, Che justru memilih hidup sebagai geril-yawan yang jauh dari nyaman. Dia berjuang di sejumlah negara Amerika Latin, seperti Guatemala dan Kuba memerangi rezim despotis di negara tersebut. Sosok Che yang revolusioner tersebut menjadi inspirasi bagi banyak gerakan pemuda di dunia ini, termasuk di negeri ini.

Kaum muda memang selalu dicitrakan sebagai sosok yang revolusioner, seperti Che, berani mendobrak kemapanan, reformis, kritis, idealis, independen, dan dinamis. Mereka tidak takut untuk beraksi demi idealisme. Demikian juga dengan pemuda di negeri ini. Bukan hanya kemerdekaan yang kita peroleh dari perjuangan para pemuda, tetapi juga sejumlah momentum lainnya, seperti Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 15 Januari 1974 dan Gerakan Reformasi 1998 yang menjungkalkan rezim Soeharto setelah berkuasa penuh selama 32 tahun.

Tidak dapat dimungkiri, seperti diungkap Yusuf Wibisono (2008), sepak terjang para pemuda Indonesia dalam menegakkan idealisme dan cita-cita yang mereka miliki banyak diwakili oleh golongan muda terpelajar. Namun dalam perjalanannya, kiprah kaum muda ini seringmengutub pada suatu masa dalam garis perjalanan sejarah. Sebagai contoh, di era Soeharto, idealisme sebagian pemuda tergadaikan oleh rezim tersebut. Mereka memilih untuk 1111 -1.1 ui [..in idealisme demi jabatan, kekuasaan, dan kepentingan lainnya. Hal ini digambarkan sebagai momen di mana idealisme pemuda berhadapan dengan kebijakan golongan tua sebagai rezim yang berkuasa. Pemuda yang setelah berhasil mencapai tujuannya terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang dulu dikritisinya.

Akibatnya, status quo suatu rezim koruptif tidak tergoyahkan karena pemuda yang diharapkan menjadi revolusioner justru berada dalam pengaruh penguasa. Bahkan selanjutnya mereka ini menjadi pengganti dari penguasa sebelumnya yang tentu saja ikut melanggengkan budaya KKN. Namun demikian, pemuda kembali menjadi kaum reformis yang berjuang mengenyahkan rezim tersebut, sebagaimana kita lihat hasilnya, Indonesia yang sekarang ini.Pengamat politik asal Unpar Prof. Asep Warlan mengatakan bahwa peranan pemuda dalam kepemimpinan, baik di skala pemerintah daerahmaupun pusat, cukup signifikan. Bahkan, secara khusus, di Jawa Barat, peranan pemuda lebih kentara dibandingkan dengan di daerah lainnya.

Dia merujuk pada terpilihnya pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar periode 2008-2013. Selain itu, berdasarkan pengamatannya, semua partai di Jabar memiliki kaum muda yang diberi kepercayaan untuk memegangjabatan strategis. Usia mereka rata-rata berada di bawah 50 tahun. Sebagai contoh, pasangan Hade saat ini berusia 40-an.Pada masa ini, kepemimpinan yang dilakoni kaum muda memang menjadi tren dunia. Mulai dari pasangan Hade di Jabar sampai dengan Barack Obama di AS, dan baru-baru ini David Cameron di Inggris. Mereka merupakan kaum muda yang saat ini diberi kepercayaan memegang posisi yang strategis.

Menurut dia, keberadaan kaum muda dalam politik sangat positif karena diharapkan mereka dapat merealisasikan idealisme yang dimiliki untuk kemajuan bangsa. Secara teoretis, kata Asep, untuk kapabel dalam memimpin, ada tiga faktor penting yang harus dipenuhi, yakni, intelektual, pengalaman, dan pengaruh.Pemimpin usia muda, kata Asep, tidak jadi halangan untuk menjalankan jabatan strategis meskipun secara pengalaman pemimpin dari golongan usia tua lebih unggul. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kaum muda memimpin lebih buruk dari kaum tua. Pasalnya, dua kualitas lainnya, seperti intelektual dan pengaruh, juga punya porsi penting agar pemimpin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, usia muda tidak jadi halangan untuk memegangjabatan apa pun, termasuk jabatan politik yang strategis selama ketiga syarat tersebut dipenuhi.

Dia mencontohkan, kemenangan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menunjukkan bahwa Partai Demokrat memercayai kaum muda untuk memajukan partai tersebut. Sosok Anas memang memenuhi kriteria sebagai pemimpin di mana dia memiliki pengetahuan, pengalaman, dan juga pengaruh. Soal apakah dia berhasil atau tidak dalam memimpin partai tersebut, tentu saja masih terlaludini untuk menilainya.Yod Mintaraga dari Partai Golkar menyatakan hal senada bahwa usia muda tidak jadi masalah ketika mendapat amanah untuk menjalankan posisi yang strategis. Bagi Golkar, kata Yod, kepemimpinan itu harus dilihat dari potensi, bukan usia, tua atau muda. "Yang penting potensi brand, bukan muda atau tua. Oleh karena itu, jika ada kader muda yang berpotensi, tidak masalah untuk memegangjabatan strategis.

Secara khusus di kalangan partai politik (parpol), kelompok pemuda memang menjadi salah satu target penting dalam pengaderan. Hal ini sangat beralasan karena pemuda dengan pencitraannya sebagai sosok yang reformis, kritis, berani, dan idealis menjadi daya tarik bagi parpol untuk menunjukkan pada konstituennya bahwa parpolmerangkul nilai yang dicitrakan kaum muda tersebut.

Dalam setiap kampanye pemilu, partai politik selalu mengklaim telah memberi ruang ekspresi yang cukup kepada kaum muda. Parpol selalu menyebutkan bahwa melibatkan kaum muda dalam parpol merupakan wujud tanggungjawab untuk menjalankan kaderisasi terhadap generasi muda calon pemimpin masa depan. Akan tetapi pada kenyataannya, sering kali kaum muda yang diberi posisi strategis tersebut berbenturan kepentingan dengan kebijakan kaum tua atau gerontokrasi. Deden Darmansyah dari PDIP mengakui hal itu. Menurut dia, benturan kepentingan itu umum terjadidalam kehidupan berpartai.

Pengamat politik lainnya Dede Mariana mengatakan, kaderisasi dalam partai sering berujung gagal. Dalam artian, tidak berhasil melahirkan sosok pemimpin yang idealis dan memegang visi partai dengan teguh. Bahkan akhirnya melenceng dari visi dan misi partai yang ada. Akibatnya, sejumlah anggota parpol yang punya jabatan strategis tersebut tersangkut dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. "Ini adalah akibat dari parpol tidak punya perencanaan SDM yang baik.Menurut Dede, semua parpol belum melakukan perencanaan sumber daya manusia yang baik. Bahkan untuk PKS sekalipun yang didominasi kaum muda, kata Dede, perencanaan SDM dalam partai belum berjalan dengan baik.Konsekuensi dari absennya perencanaan SDM tersebut, kata Dede, proses demokrasi yang berlangsung dalam partai sifatnya semu. Keberadaan sejumlah posisi seperti Majelis Syuro dan Dewan Pembina di sejumlah partai menunjukkan bahwa demokrasi tidak berjalan secara penuh. Bahkan akibat perencanaan SDM yang tidak becus tersebut proses kaderisasi yang melibatkan kaum muda pun sifatnya menjadi coba-coba. "Kaderisasi coba-coba. Coba-coba kaderisasi.

Soal ini tidak dibantah oleh para pegiat parpol. Deden, misalnya, tidak menyanggah soal kaderisasi yang tidak berjalan dengan baik tersebut. Sejak aktif di organisasi kepemudaan Muhammadiyah, lalu dilanjutkan berkiprah di dunia politik dengan memasuki PDIP, dia mengamati sulit bagi kaum muda yang punya jabatan strategis untuk tampil idealis.Oleh karena itu, kata dia, tidak heran jika di sejumlah partai, unsur kedekatan, unsur finansial masih menjadi faktor penting ketika seseorang diberi posisi strategis dalam partai. Jika pun secara finansial tidak ada, sering kaum muda terjebak dalam kepentingan parpol yang pragmatis. Akhirnya, idealisme yang meletup-letup di awal berubah meredup. Ini sudah menjadi masalah klasik di hampir semua partai yang pada akhirnya menyebabkan masyarakat apatis terhadap politik dan parpol.

MODAL INTELEKTUAL DALAM PEMBANGUNAN

Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi suatu pumpunan perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini dibasiskan di atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen). Namun, pengalaman-pengalaman pada aras mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada konteks kemasyarakatan atau pembangunan pada umumnya. Tema inilah yang diangkat oleh Bounfour dan Edvinsson dalam Intellectual Capital for Communities (2005).

Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya. Vitalnya kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru ini telah disuarakan juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan bahwa pengetahuan adalah mesin produksi yang paling powerful (dalam Bontis 2005).

Konteks ’revolusi pengetahuan’ (Auber 2005) seperti itu, terjadi juga pergeseran model perekonomian ke arah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) (Bounfour dan Edvinsson 2005, Aubert 2005) atau ekonomi pembelajaran (learning economy) (Lundvall 1996). Perekonomian yang ber- atau dicirikan pengetahuan memiliki tiga plus satu karakteristik kunci, yakni 1) riset dan pendidikan, 2) relasi ke pertumbuhan, dan 3) pembelajaran dan kapabilitas, serta 4) pentingnya perubahan, dominasi struktur yang (lebih) datar, dan modal sosial. Bank Dunia juga telah memulai program yang disebut sebagai Knowledge for Development untuk mendorong perkembangan negara-negara ke arah knowledge economy.

Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak-wujud (intangible assets).

Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya.

Dalam wacana pencarian cara untuk unggul (baca: strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi(organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.

Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.

Dari kepentingan itu, tulisan ini disusun dengan memuat beberapa hal. Pertama, mengingat konsep modal intelektual cenderung baru, maka perlu dicari makna/definisi yang cenderung dapat kita terima untuk memahamimnya dengan lebih baik. Kedua, sebagai sebuah konsep, maka modal intelektual tersusun atas sejumlah komponen pembentuk yang oleh karenanya perlu dipetakan apa saja komponen-komponen pembentuk yang dimaksud. Ketiga, jika modal intelektual merupakan faktor penentu kinerja dan keunggulan yang penting bagi organisasi dan masyarakat, maka salah satu persoalan vital yang muncul kemudian adalah bagaimana mengukurnya. Isu pengukuran modal intelektual masih merupakan wacana yang terus berkembang dan karenanya perlu diidentifikasi metode-metode pengukuran modal intelektual yang telah dikembangkan.

Terakhir, tulisan ini berupaya untuk menarik sejumlah implikasi penting dalam rangka mengembangkan riset di bidang ini serta potensi aplikasinya melalui pengembangan strategi dan kebijakan yang penad, bagi organisasi dan masyarakat.

DILEMA TRANSFORMASI KAUM INTELEKTUAL MUDA

Ada adagium yang menyatakan bahwa untuk melihat masa depan dari suatu negara bangsa maka lihatlah kaum mudanya. Kaum muda memang fenomenal, gerak sejarah republik ini juga mencatat eksistensi mereka dalam pelbagai peristiwa nasional. Dimulai dari Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan orde lama 1966, hingga reformasi 1998. Dapat dikatakan, kaum muda (intelektual) mampu menunjukkan peranannya sebagai agen transformasi sosial. Namun yang perlu juga dipahami adalah transformasi sosial ini tidak selalu berbentuk gerakan politik atau berkutat pada suprastruktur melainkan juga berupa transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terhadap masyarakat di tingkatan basis struktur. Nah, sejauh manakah peran kaum muda intelektual dalam melakukan transformasi IPTEK? Bagian inilah bila dibandingkan antara keduanya, benar-benar bagai langit dan bumi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai meningkatnya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi tampaknya semakin menguatkan common sense dalam masyarakat bahwa sekolah tinggi-tinggi tidak menjamin mudah memperoleh pekerjaan; terutama pekerjaan yang sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki. Sekedar diketahui, tahun 2000 jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi 277.000 orang (akademi: 184.000); tahun 2001 289.000 (252.000); tahun 2002 270.000 (250.000); tahun 2003 245.000 (200.000); tahun 2004 348.000 (237.000), dan 2005 385.418 (322.836). Walaupun seorang akademisi berusaha menjelaskan panjang lebar bahwa fungsi pendidikan tidak sepragmatis itu, namun bagi masyarakat hanyalah sebuah pretensi belaka.

Sebagai negara berkembang yang dituntut mampu berkompetisi dalam era globalisasi, Indonesia sebenarnya menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (human investment) merupakan komplementator utama bagi pembangunan ekonomi dan politik yang menempati posisi sentral dalam pembangunan nasional. Sistem pendidikan tinggi selama ini diyakini mampu menghasilkan kompetensi sumber daya manusia yang berdaya saing. Oleh sebab itu, ironis jika lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran bahkan angka absolutnya cenderung meningkat per tahun. Secara umum, tingginya jumlah pengangguran seringkali diakibatkan oleh ketidakmampuan dunia kerja mengakomodasi tenaga kerja produktif – dalam konteks ini, lulusan perguruan tinggi. Penulis mencoba berpikir sebaliknya, tingginya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi dipicu oleh ketidakmampuan (baca: kegagalan) lulusan tersebut dalam menciptakan lapangan kerja. Ada apa dengan sistem pendidikan perguruan tinggi kita?

Menurut penulis, tanpa disadari sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia masih terjebak dalam perspektif fungsionalis. Seorang fungsionalis; Durkheim, berpandangan bahwa pendidikan sebagai komponen utama pembangunan sumber daya manusia harus berfungsi sebagai wacana transformasi norma-norma dan nilai-nilai masyarakat untuk melestarikan dan memperkuat homogenitas masyarakat melalui konformitas sikap dan keterampilan dengan serangkaian aturan yang dituntut masyarakat. Dalam perspektif ini, pendidikan memrogram kualitas manusia sedemikian rupa agar sesuai dengan logika masyarakat industri dan tuntutan pasar. Manusia merupakan objek yang harus beradaptasi dengan logika sistem industrial yang telah terbangun. Dengan kata lain, basis sistem pendidikan perguruan tinggi kita masih terkonstruksi pada logika pemenuhan produksi (production centered development model).

Seharusnya, sistem pendidikan perguruan tinggi harus mendasarkan dirinya pada human centered development model. Sistem ini sejalan dengan paradigma kritis yang memandang pendidikan harus melakukan refleksi kritis terhadap sistem dominan kemudian melakukan dekonstruksi menuju sistem social yang lebih egaliter. Oleh sebab itu diperlukan ‘pemampuan’ (empowerment) segala potensi manusia dalam membaca dan menganalisa segenap kontradiksi di masyarakat kemudian menemukan solusi alternatif untuk mengatasinya. Sistem ini lebih dari sekedar membentuk intelektual profesional dan kontributif terhadap pembangunan melainkan menuntut pembangkitan kesadaran kritis manusia untuk melakukan transformasi sosial. Dalam bahasa Freire sistem pendidikan ini bertujuan memanusiakan manusia kembali dari proses dehumanisasi.

Keterputusan ini bukannya tidak disadari, bahkan jauh-jauh hari telah diingatkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18 Maret 1962 : “…Saudara pada waktu menggali ilmu pengetahuan (praktis) itu tentu telah merasa sendiri bahwa ilmu pengetahuan, sekadar adalah bekal untuk aktif membangun, membantu, menyumbang kepada pembangunan nasional. Lebih dari pada bekal itu masih ada dasar, saudara-saudara, lebih penting daripada bekal itu, adalah satu hal lain, satu dasar. Dan yang dimaksudkan dengan perkataan dasar yaitu karakter. Karakter adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan”. Karakter yang dimaksud oleh Soekarno adalah nalar kritis dalam menginterpretasikan absurditas realitas sosial sehingga mahasiswa mampu memosisikan dirinya benar-benar sebagai agen pembaharu bukan sekedar pion penguat sistem yang telah terbangun.

Kondisi perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari cita-cita human centered development. Budaya riset masih rendah, jikapun ada sebagian besar belum memiliki nilai guna yang signifikan terhadap masyarakat. Hal ini dilengkapi dengan dukungan infrastruktur dan finansial yang serba minimal. Sebagai bukti, Tatang H. Soerawidjaja Kepala Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan, Institut Teknologi Bandung mengatakan, setiap tahunnya ITB menghasilkan sekitar 500-an penelitian, namun dari jumlah itu yang bisa diaplikasikan di masyarakat dan dunia industri hanya belasan. Berbeda dengan perguruan tinggi di luar negeri, semisal Jepang dimana semangat riset telah mendorong entrepreneurship dan kreativitas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk terlibat dalam pembangunan industri nasional. Oleh sebab itu, logis jika tranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia berjalan sangat lambat, bahkan mulai tertinggal dalam skala regional. Menurut Brian Yuliarto, pada tahun 2004 misalnya, hanya 522 kertas kerja ilmiah karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal internasional. Itu hanya sepertiga dari jumlah kertas kerja ilmiah asal Malaysia (1.438). Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada Filipina dan Brunei Darussalam, yang jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia. Pada tataran ini, perguruan tinggi di Indonesia sebagai pusat pendidikan vokasional akhirnya menjadi fabrikasi dan mekanisasi tenaga kerja tidak produktif (pasif), tanpa sense of inovatif, serta kehilangan nalar kritis dan jiwa entrepreneurship sehingga terjebak untuk taat (obedient) dalam iklim akademis non kritis transformatif.

Apa yang harus dilakukan?

Kegagalan sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia menuju human centered development mengindikasikan belum adanya (missing link) pembangunan keberlanjutan dalam pemberdayaan kaum muda intelektual sebagai sumber daya manusia kolektif. Oleh sebab itu diperlukan adanya kemitraan strategis antara pemerintah dan perguruan tinggi. Dalam era otonomi daerah, kemitraan ini dapat termanifestasikan melalui kerja sama dalam pelbagai aspek (terutama riset) antara perguruan tinggi dengan dinas-dinas pemerintah plus instansi-instansi terkait baik negeri maupun swasta di daerah yang bersangkutan. Perguruan tinggi unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis, pemerintah berperan dalam kebijakan publik, sedangkan swasta berperan dalam pemasaran produk dan dukungan finansial. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah:

Pertama, perguruan tinggi harus mengembangkan sistem kurikulum yang mampu menumbuhkan minat civitas akademika (dosen dan mahasiswa) untuk meningkatkan kompetensi kritis mereka. Kondisi ini diperlukan untuk menciptakan intelektual-intelektual yang potensial dan kompetitif. Kedua, pemerintah daerah melalui dinas-dinas harus menyadari peran vital mereka sebagai basis transformasi pengetahuan langsung terhadap masyarakat. Selama ini dinas-dinas cenderung tidak produktif dan hanya berkutat dalam persoalan-persoalan yang sifatnya administratif. Dinas-dinas bahkan tidak memiliki kompetensi yang jelas dalam mengembangkan vokasional bidang mereka. Ketiga, pihak swasta seharusnya lebih berpartisipasi aktif dalam membangun kemitraan mereka dengan perguruan tinggi dan pemerintah. Artinya ikut mengembangkan potensi yang dimiliki daerah sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang berdaya guna dan bernilai jual di masyarakat dengan nilai mutu yang unggul. Satu hal yang juga penting adalah masyarakat sebaiknya juga berpartisipasi aktif sehingga mampu mentransfer pengetahuan secara langsung dan benar. Misalnya lahan produksi rakyat digunakan sebagai sentra uji riset dari labotarorium. Bahkan alangkah baiknya bila masyarakat juga memiliki minat melakukan riset sendiri. Seperti Thailand yang sentra penghasil produk-produk pertanian unggulnya mulai menjadi home industri.

Jika kemitraan ini dilakukan secara terpadu dan kontinyu, maka beberapa manfaat yang dapat diraih adalah: pertama, perguruan tinggi akan mampu menciptakan manusia-manusia produktif, kreatif, dan berjiwa entrepreneurship sehingga pengangguran lulusan perguruan tinggi dapat ditekan seminimal mungkin. Para lulusan yang berkompeten dapat menjadi staf ahli bagi pemerintah maupun instansi swasta untuk mengembangkan keilmuannya. Kedua, profesionalisme dinas-dinas dapat ditingkatkan sehingga mampu menjalankan fungsi idealnya dalam memberdayakan masyarakat. Ketiga, transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat akan berlangsung lebih cepat sehingga mampu membangun masyarakat di daerah secara kompetitif sehingga dalam jangka panjang dapat meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia secara bertahap.

Perguruan tinggi sudah seyogyanya tidak terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri saja. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membangun program studi yang berorientasi ilmu-ilmu dasar sebagai instrument strategis untuk pengembangan teknologi secara fundamental. Karena itu lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta seharusnya dapat menampung (captive market) para intelektual perguruan tinggi yang berprofesi di bidang riset khususnya.

Kaum muda (intelektual) sebagai pemegang tongkat estafet eksistensi negara sudah selayaknya mendapat perhatian yang terpadu dari semua pihak. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang nyata untuk menyiapkan kapabilitas material dan spiritual kaum muda demi kemajuan bangsa, agar Indonesia dalam istilah yang semakin jarang terdengar ‘bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Sumber:
-Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I, Intelektual Muslim Sebagai Pillar Bangsa yang Berkarakter
-(Humin-Ca/"PR")HH, Menunggu Kontribusi Pekerja Sebagai Penggerak Bangsa
-Eddi Suprayitno, Modal Intelektual dalam Pembangunan



Selasa, 03 Maret 2009 00:00 | Oleh suarausu |

Tim Ikatan Mahasiswa Langsa (IMLA) tampil sebagai juara dalam turnamen futsal yang diselenggarakan Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol Universitas Sumatera Utara (IMIB USU) di Bali Futsal, Minggu (22/2). IMLA menaklukkan Tim Kotanopan di partai final dengan skor 3-2 dan berhak membawa pulang trofi juara pertama beserta piagam.

Permainan menyerang dengan koordinasi yang apik antar pemain ditampilkan IMLA sejak menit-menit awal. Kecepatan permainan IMLA membuat Kotanopan kesulitan dalam mengimbanginya. “Permainan IMLA memang bagus, terkordinasi”, ujar Ari, salah satu peserta turnamen yang menyaksikan partai final ini.

Sedangkan tuan rumah sendiri yang mengrimkan dua tim, IMIB A dan IMIB B kandas di semifinal dengan skor yang sama. IMIB B yang berjumpa dengan Kotanopan menyerah dengan skor 3-2. Sedangkan IMIB A takluk dengan skor sama dalam partai semifinal melawan IMLA yang akhirnya keluar sebagai juara.



Antar Organisasi Daerah

Turnamen futsal yang berlangsung dari pukul 16.00-19.00 WIB ini dikuti oleh delapan tim yang berasal dari organisasi mahasiswa daerah yang berada di Medan. Kedelapan tim tersebut adalah IMLA, Kotanopan, FARAL (Forum Anak Rantau Asal Lampung), Ima Madina (Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal), Imakopasid (Ikatan Mahaasiswa Kota Padang Sidempuan), IMAPS (Ikatan Mahasiswa Pesisir Selatan), serta dua tim tuan rumah, IMIB A dan IMIB B.

“Hanya tim Kotanopan yang bukan dari organisasi daerah. Karena mereka organisasinya belum terbentuk,” ujar Jefri, koordinator turnamen futsal ini. Selain itu, menurut mahasiswa Teknik Mesin USU angkatan 2006 yang akrab disapa Ijonk ini, panitia sebenarnya juga mengundang organisasi daerah lainnya. Tapi ada yang tidak bisa ikut berpartisipasi karena berbagai hal.

Ijonk menambahkan, turnamen futsal ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi dengan sesama organisasi primordial. “Tujuannya silaturahmi. Karena pesertanya bukan hanya anak USU. Tapi juga dari UISU, Unimed, PTKI, dan lainnya,” ujar Ijonk yang juga Ketua Bidang Minat dan Bakat IMIB USU ini.


Malam Kesenian, Acara Puncak

Turnamen futsal ini sendiri merupakan bagian dari rangkain kegiatan Semarak Minang di Kota medan yang diadakan oleh IMIB USU. Sebagai acara puncaknya, IMIB USU akan menggelar Malam Kesenian Kebudayaan Minangkabau, di Rumah Gadang BM3, Jalan Adinegoro Medan, Jumat (27/2).

“Turnamen futsal ini merupakan rangkaian kegiatan dari Semarak Minang di Kota Medan 2009 yang diadakan IMIB USU. Turnamen digabungkan dalam kegiatan malam kesenian tersebut,” jelas Ijonk lagi.

Acara malam kesenian ini sendiri akan menampilkan tari-tarian dan nyanyian Minang. Selain itu, akan ditampilkan juga parodi Minang yang bercerita tentang Malin Kundang. “Kita akan menampilkan kesenian Minang, seperti Tari Pasambahan, Tari Rantak, Tari Indang, dan Tari Piring. Semuanya akan dibawakan oleh anggota IMIB yang merupakan mahasiswa USU,” jelas Aulia, ketua panitia kegiatan ini. (Ade Marza)



Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Aktivitas The History's

FISIP UISU

FISIP UISU

About Me

Foto Saya
Rizkie Maulana
Rizkie Maulana adalah seorang anak pertama dari 4 bersaudara yang saat ini sedang menuntut ilmu di kota Medan dengan spesialisasi pendidikan dan konsen terhadap sosial dan politik
Lihat profil lengkapku

Entri Populer

Powered By Blogger

Pergerakanku

Pergerakanku

Forum Silaturrahim Anak Langsa

Forum Silaturrahim Anak Langsa