Senin, 09 Agustus 2010
Islam memandang pemuda sebagai penopang pilar utama transformasi sebuah bangsa. Lihatlah Rasulullah s.a.w. Pada usia 15-20 tahun beliau telah terlibat berbagai peristiwa militer dan memainkan peran diplomatik penyelesaian sengketa masyarakat Arab. Bahkan pada usia yang sangat dini (12 tahun), beliau melakukan perjalanan bisnis ke Syam (Syria). Ini pengalaman perjalananan internasional. Beliau bertemu dengan Pendeta Buhaira yang meramalkan kenabiannya, sesuai dengan apa yang tertera di Kitab Sucinya. Sinopsis kehidupan seperti ini telah membentuk konsep diri dan peran strategis beliau dalam narasi panjang sejarah peradaban Islam.
Al-Qur’an juga bercerita kepada kita tentang Ashab al-Kahfi yang tangguh.”Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita Ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambah pula untuk mereka petunjuk”.
Al-Qur’anpun berkisah tentang pemuda Ibrahim a.s. yang bermental baja dalam membasmi berhala, tapi juga sosok yang sangat santun dalam berdialog dengan kaumnya. Beliau penjadi pilar utama perubahan kaumnya, bahkan menjadi sentral perhatian kaumnya,”Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala Ini yang bernama Ibrahim“. Demikian pula tentang sosok Nabiyaullah Ismail a.s. dan nabiyullah Yusuf a.s. Mereka adalah pemuda-pemuda tangguh dan tokoh transformasi umatnya.
Demikian pula dengan sejarah peran pemuda Indonesia dalam mentranformasikan perjuangan bangsa yakni dumulai dari Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Penggulingan Orde Lama hingga Reformasi 1998.
Dengan demikian sesungguhnya kita memiliki pijakan historis berdasarkan penuturan Al-Qur’an dan sejarah bangsa Indonesia hari ini terbuktikan, bukan sekedar apologi teologis yang romantis. Maka, kaum intelekua muda hari ini hendaklah dapat mentransformasikan setiap individu di antara kita untuk hadir di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kontribusi terbaik serta karakter mulia yang membebaskan kita dari segala kungkungan dan tirani sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan tirani intelektual itu sendiri.
Semua itu dapat dirumuskan pada atribut intelektual muda muslim berikut ini : Pertama, memahami dan berpegang teguh pada ajaran tauhid serta komitmen yang utuh kepada Allah s.w.t. (Islamic world-view, a-tashawwur al-Islamy). Kedua, menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah s.w.t. Dalam konteks masyarakat manusia, penolakannya itu berarti emansipasi dan restorasi kebebasan esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia, supaya komitmennya pada Allah menjadi utuh dan kukuh. Ketiga, ia bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat-istiadatnya, tradisi dan paham hidupnya. Bila dalam penilaiannya ternyata terdapat unsur-unsur syirik dalam arti luas, maka ia selalu bersedia untuk berubah dan mengubah hal-hal itu agar sesuai dengan pesan-pesan ilahi. Manusia-tauhid adalah progresif karena ia tidak pernah menolak setiap perubahan yang positif. Ia berinteraksi dengan berbagai produk budaya dan peradaban asing yang antagonis dengan Islam.Keempat, tujuan hidupnya amat jelas. Kelima, visi kehidupan yang jelas tentang kehidupan yang akan dibangun bersama manusia lainnya; hablun minallah dan hablun minannas (keseimbangan dimensi vertikal dan horisontal).Keenam, seorang intelektual muda muslim harus terlibat aktif dalam transformasi masyarakat, tidak menjadi tawanan menara gading yang jauh dari penderitaan umatnya.
MENUNGGU KONTRIBUSI PEMUDA SEBAGAI PENGGERAK BANGSA
TIDAK dapat disangkal, berdirinya Indonesia merupakan kontribusi dari kaum muda di negeri ini. Tokoh muda Soetomo, Wahidin Soedirohoesodo, Ki Hajar Dewantara melalui organisasi pemuda lintas suku yang bernama Boedi Utomo menjadi pionir pergerakan pemuda di negeri ini.
KEPIAWAIAN ketiga pemuda tersebut dalam menggerakkan kebangkitan nasional berhasil mewujudkan Indonesia yang merdeka. Kaum mudalah yang membangkitkan kesadaran masyarakat saat itu tentang pentingnya kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda di bumi pertiwi. Tidak berlebihan pula jika momentum kebangkitan nasional yang lahir 102 tahun lalu itu terus kita kenang setiap tahun, yakni 22 Mei sesuai dengan hari kelahiran organisasi tersebut.
Kaum muda memang selalu dicitrakan sebagai sosok yang revolusioner, seperti Che, berani mendobrak kemapanan, reformis, kritis, idealis, independen, dan dinamis. Mereka tidak takut untuk beraksi demi idealisme. Demikian juga dengan pemuda di negeri ini. Bukan hanya kemerdekaan yang kita peroleh dari perjuangan para pemuda, tetapi juga sejumlah momentum lainnya, seperti Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 15 Januari 1974 dan Gerakan Reformasi 1998 yang menjungkalkan rezim Soeharto setelah berkuasa penuh selama 32 tahun.
Tidak dapat dimungkiri, seperti diungkap Yusuf Wibisono (2008), sepak terjang para pemuda Indonesia dalam menegakkan idealisme dan cita-cita yang mereka miliki banyak diwakili oleh golongan muda terpelajar. Namun dalam perjalanannya, kiprah kaum muda ini seringmengutub pada suatu masa dalam garis perjalanan sejarah. Sebagai contoh, di era Soeharto, idealisme sebagian pemuda tergadaikan oleh rezim tersebut. Mereka memilih untuk 1111 -1.1 ui [..in idealisme demi jabatan, kekuasaan, dan kepentingan lainnya. Hal ini digambarkan sebagai momen di mana idealisme pemuda berhadapan dengan kebijakan golongan tua sebagai rezim yang berkuasa. Pemuda yang setelah berhasil mencapai tujuannya terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang dulu dikritisinya.
Akibatnya, status quo suatu rezim koruptif tidak tergoyahkan karena pemuda yang diharapkan menjadi revolusioner justru berada dalam pengaruh penguasa. Bahkan selanjutnya mereka ini menjadi pengganti dari penguasa sebelumnya yang tentu saja ikut melanggengkan budaya KKN. Namun demikian, pemuda kembali menjadi kaum reformis yang berjuang mengenyahkan rezim tersebut, sebagaimana kita lihat hasilnya, Indonesia yang sekarang ini.Pengamat politik asal Unpar Prof. Asep Warlan mengatakan bahwa peranan pemuda dalam kepemimpinan, baik di skala pemerintah daerahmaupun pusat, cukup signifikan. Bahkan, secara khusus, di Jawa Barat, peranan pemuda lebih kentara dibandingkan dengan di daerah lainnya.
Dia merujuk pada terpilihnya pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar periode 2008-2013. Selain itu, berdasarkan pengamatannya, semua partai di Jabar memiliki kaum muda yang diberi kepercayaan untuk memegangjabatan strategis. Usia mereka rata-rata berada di bawah 50 tahun. Sebagai contoh, pasangan Hade saat ini berusia 40-an.Pada masa ini, kepemimpinan yang dilakoni kaum muda memang menjadi tren dunia. Mulai dari pasangan Hade di Jabar sampai dengan Barack Obama di AS, dan baru-baru ini David Cameron di Inggris. Mereka merupakan kaum muda yang saat ini diberi kepercayaan memegang posisi yang strategis.
Menurut dia, keberadaan kaum muda dalam politik sangat positif karena diharapkan mereka dapat merealisasikan idealisme yang dimiliki untuk kemajuan bangsa. Secara teoretis, kata Asep, untuk kapabel dalam memimpin, ada tiga faktor penting yang harus dipenuhi, yakni, intelektual, pengalaman, dan pengaruh.Pemimpin usia muda, kata Asep, tidak jadi halangan untuk menjalankan jabatan strategis meskipun secara pengalaman pemimpin dari golongan usia tua lebih unggul. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kaum muda memimpin lebih buruk dari kaum tua. Pasalnya, dua kualitas lainnya, seperti intelektual dan pengaruh, juga punya porsi penting agar pemimpin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, usia muda tidak jadi halangan untuk memegangjabatan apa pun, termasuk jabatan politik yang strategis selama ketiga syarat tersebut dipenuhi.
Pengamat politik lainnya Dede Mariana mengatakan, kaderisasi dalam partai sering berujung gagal. Dalam artian, tidak berhasil melahirkan sosok pemimpin yang idealis dan memegang visi partai dengan teguh. Bahkan akhirnya melenceng dari visi dan misi partai yang ada. Akibatnya, sejumlah anggota parpol yang punya jabatan strategis tersebut tersangkut dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. "Ini adalah akibat dari parpol tidak punya perencanaan SDM yang baik.
Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi suatu pumpunan perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini dibasiskan di atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen). Namun, pengalaman-pengalaman pada aras mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada konteks kemasyarakatan atau pembangunan pada umumnya. Tema inilah yang diangkat oleh Bounfour dan Edvinsson dalam Intellectual Capital for Communities (2005).
Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak-wujud (intangible assets).
Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya.
Dalam wacana pencarian cara untuk unggul (baca: strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi(organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.
Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.
Terakhir, tulisan ini berupaya untuk menarik sejumlah implikasi penting dalam rangka mengembangkan riset di bidang ini serta potensi aplikasinya melalui pengembangan strategi dan kebijakan yang penad, bagi organisasi dan masyarakat.
Ada adagium yang menyatakan bahwa untuk melihat masa depan dari suatu negara bangsa maka lihatlah kaum mudanya. Kaum muda memang fenomenal, gerak sejarah republik ini juga mencatat eksistensi mereka dalam pelbagai peristiwa nasional. Dimulai dari Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan orde lama 1966, hingga reformasi 1998. Dapat dikatakan, kaum muda (intelektual) mampu menunjukkan peranannya sebagai agen transformasi sosial. Namun yang perlu juga dipahami adalah transformasi sosial ini tidak selalu berbentuk gerakan politik atau berkutat pada suprastruktur melainkan juga berupa transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terhadap masyarakat di tingkatan basis struktur. Nah, sejauh manakah peran kaum muda intelektual dalam melakukan transformasi IPTEK? Bagian inilah bila dibandingkan antara keduanya, benar-benar bagai langit dan bumi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai meningkatnya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi tampaknya semakin menguatkan common sense dalam masyarakat bahwa sekolah tinggi-tinggi tidak menjamin mudah memperoleh pekerjaan; terutama pekerjaan yang sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki. Sekedar diketahui, tahun 2000 jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi 277.000 orang (akademi: 184.000); tahun 2001 289.000 (252.000); tahun 2002 270.000 (250.000); tahun 2003 245.000 (200.000); tahun 2004 348.000 (237.000), dan 2005 385.418 (322.836). Walaupun seorang akademisi berusaha menjelaskan panjang lebar bahwa fungsi pendidikan tidak sepragmatis itu, namun bagi masyarakat hanyalah sebuah pretensi belaka.
Menurut penulis, tanpa disadari sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia masih terjebak dalam perspektif fungsionalis. Seorang fungsionalis; Durkheim, berpandangan bahwa pendidikan sebagai komponen utama pembangunan sumber daya manusia harus berfungsi sebagai wacana transformasi norma-norma dan nilai-nilai masyarakat untuk melestarikan dan memperkuat homogenitas masyarakat melalui konformitas sikap dan keterampilan dengan serangkaian aturan yang dituntut masyarakat. Dalam perspektif ini, pendidikan memrogram kualitas manusia sedemikian rupa agar sesuai dengan logika masyarakat industri dan tuntutan pasar. Manusia merupakan objek yang harus beradaptasi dengan logika sistem industrial yang telah terbangun. Dengan kata lain, basis sistem pendidikan perguruan tinggi kita masih terkonstruksi pada logika pemenuhan produksi (production centered development model).
Keterputusan ini bukannya tidak disadari, bahkan jauh-jauh hari telah diingatkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18 Maret 1962 : “…Saudara pada waktu menggali ilmu pengetahuan (praktis) itu tentu telah merasa sendiri bahwa ilmu pengetahuan, sekadar adalah bekal untuk aktif membangun, membantu, menyumbang kepada pembangunan nasional. Lebih dari pada bekal itu masih ada dasar, saudara-saudara, lebih penting daripada bekal itu, adalah satu hal lain, satu dasar. Dan yang dimaksudkan dengan perkataan dasar yaitu karakter. Karakter adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan”. Karakter yang dimaksud oleh Soekarno adalah nalar kritis dalam menginterpretasikan absurditas realitas sosial sehingga mahasiswa mampu memosisikan dirinya benar-benar sebagai agen pembaharu bukan sekedar pion penguat sistem yang telah terbangun.
Kondisi perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari cita-cita human centered development. Budaya riset masih rendah, jikapun ada sebagian besar belum memiliki nilai guna yang signifikan terhadap masyarakat. Hal ini dilengkapi dengan dukungan infrastruktur dan finansial yang serba minimal. Sebagai bukti, Tatang H. Soerawidjaja Kepala Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan, Institut Teknologi Bandung mengatakan, setiap tahunnya ITB menghasilkan sekitar 500-an penelitian, namun dari jumlah itu yang bisa diaplikasikan di masyarakat dan dunia industri hanya belasan. Berbeda dengan perguruan tinggi di luar negeri, semisal Jepang dimana semangat riset telah mendorong entrepreneurship dan kreativitas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk terlibat dalam pembangunan industri nasional. Oleh sebab itu, logis jika tranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia berjalan sangat lambat, bahkan mulai tertinggal dalam skala regional. Menurut Brian Yuliarto, pada tahun 2004 misalnya, hanya 522 kertas kerja ilmiah karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal internasional. Itu hanya sepertiga dari jumlah kertas kerja ilmiah asal Malaysia (1.438). Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada Filipina dan Brunei Darussalam, yang jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia. Pada tataran ini, perguruan tinggi di Indonesia sebagai pusat pendidikan vokasional akhirnya menjadi fabrikasi dan mekanisasi tenaga kerja tidak produktif (pasif), tanpa sense of inovatif, serta kehilangan nalar kritis dan jiwa entrepreneurship sehingga terjebak untuk taat (obedient) dalam iklim akademis non kritis transformatif.
Kegagalan sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia menuju human centered development mengindikasikan belum adanya (missing link) pembangunan keberlanjutan dalam pemberdayaan kaum muda intelektual sebagai sumber daya manusia kolektif. Oleh sebab itu diperlukan adanya kemitraan strategis antara pemerintah dan perguruan tinggi. Dalam era otonomi daerah, kemitraan ini dapat termanifestasikan melalui kerja sama dalam pelbagai aspek (terutama riset) antara perguruan tinggi dengan dinas-dinas pemerintah plus instansi-instansi terkait baik negeri maupun swasta di daerah yang bersangkutan. Perguruan tinggi unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis, pemerintah berperan dalam kebijakan publik, sedangkan swasta berperan dalam pemasaran produk dan dukungan finansial. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah:
Pertama, perguruan tinggi harus mengembangkan sistem kurikulum yang mampu menumbuhkan minat civitas akademika (dosen dan mahasiswa) untuk meningkatkan kompetensi kritis mereka. Kondisi ini diperlukan untuk menciptakan intelektual-intelektual yang potensial dan kompetitif. Kedua, pemerintah daerah melalui dinas-dinas harus menyadari peran vital mereka sebagai basis transformasi pengetahuan langsung terhadap masyarakat. Selama ini dinas-dinas cenderung tidak produktif dan hanya berkutat dalam persoalan-persoalan yang sifatnya administratif. Dinas-dinas bahkan tidak memiliki kompetensi yang jelas dalam mengembangkan vokasional bidang mereka. Ketiga, pihak swasta seharusnya lebih berpartisipasi aktif dalam membangun kemitraan mereka dengan perguruan tinggi dan pemerintah. Artinya ikut mengembangkan potensi yang dimiliki daerah sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang berdaya guna dan bernilai jual di masyarakat dengan nilai mutu yang unggul. Satu hal yang juga penting adalah masyarakat sebaiknya juga berpartisipasi aktif sehingga mampu mentransfer pengetahuan secara langsung dan benar. Misalnya lahan produksi rakyat digunakan sebagai sentra uji riset dari labotarorium. Bahkan alangkah baiknya bila masyarakat juga memiliki minat melakukan riset sendiri. Seperti Thailand yang sentra penghasil produk-produk pertanian unggulnya mulai menjadi home industri.
Jika kemitraan ini dilakukan secara terpadu dan kontinyu, maka beberapa manfaat yang dapat diraih adalah: pertama, perguruan tinggi akan mampu menciptakan manusia-manusia produktif, kreatif, dan berjiwa entrepreneurship sehingga pengangguran lulusan perguruan tinggi dapat ditekan seminimal mungkin. Para lulusan yang berkompeten dapat menjadi staf ahli bagi pemerintah maupun instansi swasta untuk mengembangkan keilmuannya. Kedua, profesionalisme dinas-dinas dapat ditingkatkan sehingga mampu menjalankan fungsi idealnya dalam memberdayakan masyarakat. Ketiga, transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat akan berlangsung lebih cepat sehingga mampu membangun masyarakat di daerah secara kompetitif sehingga dalam jangka panjang dapat meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia secara bertahap.
-Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I, Intelektual Muslim Sebagai Pillar Bangsa yang Berkarakter
-(Humin-Ca/"PR")HH, Menunggu Kontribusi Pekerja Sebagai Penggerak Bangsa
-Eddi Suprayitno, Modal Intelektual dalam Pembangunan
Label:
Opini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
▼
2010
(19)
-
▼
Agustus
(9)
- MARHABAN YA RAMADHAN
- PERAN PUTRA DAERAH TERHADAP PERKEMBANGAN KOTA TANA...
- PERAN STRATEGIS KAUM INTELEKTUAL MUDA
- IMLA Juarai Turnamen Futsal IMIB USU 2009
- PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
- IMLA Futsal Competition 2010
- GEBYAR MILAD FISIP UISU ke 47
- MEMBANGUN TIM ORGANIZING COMMITTEE (OC) YANG BAIK
- PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 BERPENGARUH KEP...
-
▼
Agustus
(9)
Diberdayakan oleh Blogger.
Followers
Aktivitas The History's
FISIP UISU
About Me
- Rizkie Maulana
- Rizkie Maulana adalah seorang anak pertama dari 4 bersaudara yang saat ini sedang menuntut ilmu di kota Medan dengan spesialisasi pendidikan dan konsen terhadap sosial dan politik
Entri Populer
-
Ikatan Mahasiswa Langsa - Medan (IMLA - Medan) telah berhasil menyelenggarakan event futsal yang bernama IMLA FUTSAL COMPOTION pada tanggal ...
-
Idealisme mahasiswa sikap pantang menyerah untuk mentransformasikan bentuk ideal cita-citanya menjadi kenyataan. Seperti yang dikmukakan ole...
-
Ikatan Mahasiswa Langsa (IMLA) Medan menyelenggarakan event futsal yang bernama IMLA Futsal Competition dari tanggal 1-6 Juni 2010 di lapa...
-
PENDAHULUAN Islam memandang pemuda sebagai penopang pilar utama transformasi sebuah bangsa. Lihatlah Rasulullah s.a.w. Pada usia 15-20 t...
-
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (Indonesian Moslem Student Movement) KOMISARIAT UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA MEDAN ...
-
Tidak dapat dipungkiri bahwanya pasca diberlakukannya UU tentang otonomi daerah dan kehidupan politik dengan penerapan pemilihan langsung un...
-
IKATAN MAHASISWA LANGSA ( I M L A ) MEDAN Ikatan Mahasiswa Langsa (IMLA–Medan), yang didirikan pada tanggal 09 Oktober 2003, IMLA–Med...
0 komentar:
Posting Komentar